Mako Tabuni |
Lulus SMA langsung merasakan sel penjara.
Pada tahun 1999, sesudah SMA di Wamena selesai, Mako pergi ke Jayapura. Ini kali pertama ia berhadapan langsung secara dekat dengan tentara. Trauma di masa kecil dengan tentara terulang kembali.
Mako ditangkap oleh anggota Kopassus di Pasar Lama Abepura, Jayapura. Ketika sore hari, ia duduk-duduk di Pasar Lama itu, didatangi oleh anggota Kopassus, dibawa ke Waena, Abepura, Jayapura.
Di markas militer itu, ia ditanya dan dinterogasi. Mako menurut saja, saat itu mengaku ia masih tidak mengerti tentang hukum. Ia sadar ketika didatangi tentara ada tanda bahaya yang mengancam dirinya.
"Saya ditanya, kamu anak Pak Matias Wenda? Dorang tangkap saya dan interogasi. Karena dari SD, SMP dan SMA saya sudah biasa melihat situasi itu saya jawab ya, saya benar anak Matias Wenda, walaupun bukan," kata Mako.
Mako dituduh sebagai anaknya Matias Wenda, panglima tertinggi OPM yang saat itu disebut-sebut oleh tentara sebagai pimpinan perjuangan kemerdekaan Papua.
"Karena waktu itu saya pergi ke dia (Matias Wenda), sesudah saya tamat SMA, ke perbatasan PNG (Papua New Guinea)," kata Mako.
Saat itu Mako pergi menemui Matias Wenda, yang dekat dengan kakaknya Amos Tabuni, untuk mengetahui sejarah makam dan kematian dari kakaknya itu.
Mako berujar sebagai anak Matias Wenda, karena sejak kecil, bahkan ketika masih ada di dalam kandungan, dirinya disebut sebagai anak TPN/OPM.
"Karena itu saya harus ketemu lihat dia. Lalu Pak Matias bilang kamu di sini saja. Ah, saya tidak mau di hutan. Saya harus belajar ke kota sekolah saja," kata Mako, mengungkap pertemuannya dengan Matias Wenda.
"Pak Matias itu Bapak punya Om," kata Mako lagi.
Akhirnya, Mako tak ditahan lama, ia kemudian dilepaskan dan dikenai wajib lapor. Mako pun dengan polosnya menceritakan ketidaktahuannya soal hukum, yang ia akui karena itu baru lulus SMA. Saat itu, yang ia mengerti nyawa dirinya telah terancam.
Ia pun taat datang ke markas militer itu untuk melaporkan keberadaanya. Bulan pertama, kedua, dan ketiga ia rajin datang. Namun sesudah bulan keempat ia tak datang melapor. "Saya lari ke Manado untuk kuliah."
Di Manado, Sulawesi Utara, ia memutuskan untuk belajar hukum, dengan spesialisasi Hukum Pidana di Universitas Kristen Indonesia Tomohon. Ia tidak ambil jurusan Hukum Internasional karena kendala dengan Bahasa Inggris.
Selain belajar hukum, di kampus itu ia mulai bergabung dengan aktivis mahasiswa Papua. Pada tahun 2006, masuk ke dalam organisasi pergerakan bernama Sayap Cenderawasih, kedudukan sebagai Dewan Penasehat Organisasi.
Ia juga dipercaya sebagai koordinator penyalur beasiswa oleh para mahasiswa dari Indonesia Tengah, yang berasal dari PT Freeport Indonesia.
Ia pun menghimpun data mahasiswa Papua di Sulawesi Utara dan diajukan ke LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro) di Timika. Namun, usulan itu ditolak oleh direktur pendidikan LPMAK, alasannya beasiswa diprioritaskan bagi suku Amungme dan Kamoro.
Sesudah mengurus usulan beasiswa itu, ia tidak langsung pulang ke Manado namun bergabung dengan para pendulang emas yang ada di Tembagapura.
Ia menghimpun para pendulang emas untuk melakukan protes, yang berujung pada penangkapan dirinya oleh pasukan Brimob.
Mako ditangkap dan ditahan dengan tuduhan sebagai anggota TPN (Tentara Pembebasan Nasional) ahli survei lapangan (operasi).
"Saya ditahan di Polres Timika, Mimika pada tahun 2007. Saya dikenai pasal makar. Namun saya ditahan di Polresta sampai 7 bulan saja," kata Mako.
Ia bisa keluar dari tahanan karena punya kartu mahasiswa dan dapat jaminan dari keluarga di Timika. Saat itu BAP dirinya belum dilimpahkan ke pengadilan, Mako terbang ke Jayapura.
Di Jayapura inilah, Mako bertemu dengan kelompok aktivis yang punya daya juang semangat akan perjuangan rakyat papua. Ia bertemu dengan Buchtar Tabuni dan Victor Yeimo. Mereka duduk bersama membentuk sebuah organisasi Komite Nasional Papua Barat atau KNPB.
Aksi pertama KNPB pada 1 Desember 2008, mereka bikin mimbar bebas sekaligus peringatan hari kemerdekaan Papua Barat di lapangan Theys Eluay, Sentani, Jayapura.
Dua motor gerakan ini, Buchtar Tabuni dan Sepi Sambom ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Pada 3 April 2009, Mako ditangkap bersama aktivis KNPB lainnya, Diaz Serapi dan Yance Mote, sesudah menggelar aksi demonstrasi di depan kantor DPRP pada Maret 2009.
Mereka dituduh makar dan melakukan penghasutan. Demo damai itu menuntut: Pepera 1969, Bebaskan Tapol-Napol, Otsus gagal dan Referendum.
Sekitar Oktober 2009, Mako cs divonis hukuman 1 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Jayapura.
"Makarnya tidak terbukti, tapi terbukti penghasutan," kata Gustaf Kawer, penasihat hukum Mako cs.
Bagi Jaksa Penuntut Umum vonis hukuman itu tidak memuaskan, mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, yang kemudian putusannya tetap sama vonis 1 tahun 6 bulan, lalu jaksa kembali banding lagi ke kasasi ke Mahkamah Agung.
"Sebelum putusan kasasi turun, tanggal 28 Januari 2010, masa tahanan habis. Jadi tidak sempat menjalani hukuman itu ful (penuh), bebas demi hukum. Waktu itu MA tidak keluarkan perpanjangan penahanan," kata Gustaf Kawer.
Mako tetap konsisten memperjuangkan kebenaran dan komitmen pada prinsip perjuangan yang sudah terasah semasa dia remaja, bahkan masa kanak-kanak.
Sekali pun ia harus menanggung risiko yang berbahaya. Ia tak berhenti menyuarakan ketidakdilan politik dan hak asasi manusia yang terjadi di Papua.
"Saya tidak takut, tidak mundur, karena saya melihat nasib rakyat saat ini ke depan itu sangat tidak jelas, maka kembali lagi walaupun itu risiko, dapat ditangkap, atau dapat ditembak, terus kembali mendorong aspirasi masyarakat melalui penentuan nasib sendiri, sampai detik ini," kata Mako.
"Sesudah keluar, beliau masih aktif menyuarakan itu, saya pribadi, saya katakan, ingatkan, pembebasan sekarang ini bebas demi hukum, bukan bebas murni. Kalau putusan pengadilan MA turun bisa dieksekusi," kata Gustaf Kawer.
"Saya ingatkan kalau putusan MA turun, sewaktu-waktu bisa ditahan, jadi sarankan orang lain saja yang tampil. Tapi kemauan dia tetap aktif," kata Gustaf lagi.
Di akhir wawancara saya dengan Mako, dua tahun lalu di Jakarta, saya bertanya berapa kali dapat tangkap?
"Kelihatannya sudah tiga kali, yang terakhir saya tidak tahu. Mungkin dapat ditembak hee…," kata Mako, sambil tertawa kecil.
Pada tahun 1999, sesudah SMA di Wamena selesai, Mako pergi ke Jayapura. Ini kali pertama ia berhadapan langsung secara dekat dengan tentara. Trauma di masa kecil dengan tentara terulang kembali.
Mako ditangkap oleh anggota Kopassus di Pasar Lama Abepura, Jayapura. Ketika sore hari, ia duduk-duduk di Pasar Lama itu, didatangi oleh anggota Kopassus, dibawa ke Waena, Abepura, Jayapura.
Di markas militer itu, ia ditanya dan dinterogasi. Mako menurut saja, saat itu mengaku ia masih tidak mengerti tentang hukum. Ia sadar ketika didatangi tentara ada tanda bahaya yang mengancam dirinya.
"Saya ditanya, kamu anak Pak Matias Wenda? Dorang tangkap saya dan interogasi. Karena dari SD, SMP dan SMA saya sudah biasa melihat situasi itu saya jawab ya, saya benar anak Matias Wenda, walaupun bukan," kata Mako.
Mako dituduh sebagai anaknya Matias Wenda, panglima tertinggi OPM yang saat itu disebut-sebut oleh tentara sebagai pimpinan perjuangan kemerdekaan Papua.
"Karena waktu itu saya pergi ke dia (Matias Wenda), sesudah saya tamat SMA, ke perbatasan PNG (Papua New Guinea)," kata Mako.
Saat itu Mako pergi menemui Matias Wenda, yang dekat dengan kakaknya Amos Tabuni, untuk mengetahui sejarah makam dan kematian dari kakaknya itu.
Mako berujar sebagai anak Matias Wenda, karena sejak kecil, bahkan ketika masih ada di dalam kandungan, dirinya disebut sebagai anak TPN/OPM.
"Karena itu saya harus ketemu lihat dia. Lalu Pak Matias bilang kamu di sini saja. Ah, saya tidak mau di hutan. Saya harus belajar ke kota sekolah saja," kata Mako, mengungkap pertemuannya dengan Matias Wenda.
"Pak Matias itu Bapak punya Om," kata Mako lagi.
Akhirnya, Mako tak ditahan lama, ia kemudian dilepaskan dan dikenai wajib lapor. Mako pun dengan polosnya menceritakan ketidaktahuannya soal hukum, yang ia akui karena itu baru lulus SMA. Saat itu, yang ia mengerti nyawa dirinya telah terancam.
Ia pun taat datang ke markas militer itu untuk melaporkan keberadaanya. Bulan pertama, kedua, dan ketiga ia rajin datang. Namun sesudah bulan keempat ia tak datang melapor. "Saya lari ke Manado untuk kuliah."
Di Manado, Sulawesi Utara, ia memutuskan untuk belajar hukum, dengan spesialisasi Hukum Pidana di Universitas Kristen Indonesia Tomohon. Ia tidak ambil jurusan Hukum Internasional karena kendala dengan Bahasa Inggris.
Selain belajar hukum, di kampus itu ia mulai bergabung dengan aktivis mahasiswa Papua. Pada tahun 2006, masuk ke dalam organisasi pergerakan bernama Sayap Cenderawasih, kedudukan sebagai Dewan Penasehat Organisasi.
Ia juga dipercaya sebagai koordinator penyalur beasiswa oleh para mahasiswa dari Indonesia Tengah, yang berasal dari PT Freeport Indonesia.
Ia pun menghimpun data mahasiswa Papua di Sulawesi Utara dan diajukan ke LPMAK (Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro) di Timika. Namun, usulan itu ditolak oleh direktur pendidikan LPMAK, alasannya beasiswa diprioritaskan bagi suku Amungme dan Kamoro.
Sesudah mengurus usulan beasiswa itu, ia tidak langsung pulang ke Manado namun bergabung dengan para pendulang emas yang ada di Tembagapura.
Ia menghimpun para pendulang emas untuk melakukan protes, yang berujung pada penangkapan dirinya oleh pasukan Brimob.
Mako ditangkap dan ditahan dengan tuduhan sebagai anggota TPN (Tentara Pembebasan Nasional) ahli survei lapangan (operasi).
"Saya ditahan di Polres Timika, Mimika pada tahun 2007. Saya dikenai pasal makar. Namun saya ditahan di Polresta sampai 7 bulan saja," kata Mako.
Ia bisa keluar dari tahanan karena punya kartu mahasiswa dan dapat jaminan dari keluarga di Timika. Saat itu BAP dirinya belum dilimpahkan ke pengadilan, Mako terbang ke Jayapura.
Di Jayapura inilah, Mako bertemu dengan kelompok aktivis yang punya daya juang semangat akan perjuangan rakyat papua. Ia bertemu dengan Buchtar Tabuni dan Victor Yeimo. Mereka duduk bersama membentuk sebuah organisasi Komite Nasional Papua Barat atau KNPB.
Aksi pertama KNPB pada 1 Desember 2008, mereka bikin mimbar bebas sekaligus peringatan hari kemerdekaan Papua Barat di lapangan Theys Eluay, Sentani, Jayapura.
Dua motor gerakan ini, Buchtar Tabuni dan Sepi Sambom ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Pada 3 April 2009, Mako ditangkap bersama aktivis KNPB lainnya, Diaz Serapi dan Yance Mote, sesudah menggelar aksi demonstrasi di depan kantor DPRP pada Maret 2009.
Mereka dituduh makar dan melakukan penghasutan. Demo damai itu menuntut: Pepera 1969, Bebaskan Tapol-Napol, Otsus gagal dan Referendum.
Sekitar Oktober 2009, Mako cs divonis hukuman 1 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Jayapura.
"Makarnya tidak terbukti, tapi terbukti penghasutan," kata Gustaf Kawer, penasihat hukum Mako cs.
Bagi Jaksa Penuntut Umum vonis hukuman itu tidak memuaskan, mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, yang kemudian putusannya tetap sama vonis 1 tahun 6 bulan, lalu jaksa kembali banding lagi ke kasasi ke Mahkamah Agung.
"Sebelum putusan kasasi turun, tanggal 28 Januari 2010, masa tahanan habis. Jadi tidak sempat menjalani hukuman itu ful (penuh), bebas demi hukum. Waktu itu MA tidak keluarkan perpanjangan penahanan," kata Gustaf Kawer.
Mako tetap konsisten memperjuangkan kebenaran dan komitmen pada prinsip perjuangan yang sudah terasah semasa dia remaja, bahkan masa kanak-kanak.
Sekali pun ia harus menanggung risiko yang berbahaya. Ia tak berhenti menyuarakan ketidakdilan politik dan hak asasi manusia yang terjadi di Papua.
"Saya tidak takut, tidak mundur, karena saya melihat nasib rakyat saat ini ke depan itu sangat tidak jelas, maka kembali lagi walaupun itu risiko, dapat ditangkap, atau dapat ditembak, terus kembali mendorong aspirasi masyarakat melalui penentuan nasib sendiri, sampai detik ini," kata Mako.
"Sesudah keluar, beliau masih aktif menyuarakan itu, saya pribadi, saya katakan, ingatkan, pembebasan sekarang ini bebas demi hukum, bukan bebas murni. Kalau putusan pengadilan MA turun bisa dieksekusi," kata Gustaf Kawer.
"Saya ingatkan kalau putusan MA turun, sewaktu-waktu bisa ditahan, jadi sarankan orang lain saja yang tampil. Tapi kemauan dia tetap aktif," kata Gustaf lagi.
Di akhir wawancara saya dengan Mako, dua tahun lalu di Jakarta, saya bertanya berapa kali dapat tangkap?
"Kelihatannya sudah tiga kali, yang terakhir saya tidak tahu. Mungkin dapat ditembak hee…," kata Mako, sambil tertawa kecil.